Pages

Thursday, October 21, 2010

Kekeliruan Ilmu Kalam

Judul Asli: Kekeliruan Ilmu Kalam
Penulis: Syamsuddin Ramadhan
Penyunting: Abu Azkia
Penata Letak: aziz_lazmi
Desain Sampul: gus_uwik
Cet. I, Rajab 1424 H–September 2003 M
Penerbit: Al Azhar Press
Jl. Ciremai ujung 126 Bantarjati Kaum,
Bogor. 16153. Telp/Fax (0251) 332141.
e-mail: azhar_press@plasa.com
Kekeliruan Ilmu Kalam
Apa yang disebut dengan ilmu kalam
tidak pernah ada pada masa Nabi saw atau
pada masa sahabatnya. Ilmu ini mulai muncul
setelah berbagai kebudayaan asing
diterjemahkan ke dalam bahasa arab,
khususnya filsafat dan ilmu mantiq Yunani.
Sebagian besar kaum muslimin yang
menyibukkan diri dalam membahas ilmu
kalam tidaklah menjadi kafir akibat perbuatan
tersebut. Tujuan mereka dalam membahas
ilmu tidak lain hanya ingin menjelaskan hal-hal
yang menyangkut aqidah Islam serta
mempertemukan antara metode ilmu mantiq
dengan apa yang mereka anggap kontroversial
dari nash-nash syara’. Hanya saja mereka
tersesat dan menyibukkan pikiran mereka dan
orang lain terhadap pembahasan-pembahasan
yang akal mereka sendiri tidak sanggup
menjangkaunya. Padahal langkah yang benar
bagi mereka semestinya membatasi
pembahasan hanya pada nash-nash syara’,
yaitu berdasarkan wahyu semata.
Munculnya Ilmu Kalam
Sepanjang masa Nabi saw, kaum
muslimin hanya mempunyai satu aqidah yang
sama yaitu apa yang terdapat dalam al-Quran
dan apa yang sesuai dengan metode
Kitabullah tersebut. Mereka hidup di masa
turunnya wahyu dan mendapat kemuliaan
menjadi sahabat-sahabat rasul. Cahaya
persahabatan tersebut telah menghilangkan
kegelapan, keraguan dan khayalan. Kekuatan
iman yang mereka miliki, tidak pernah
menimbulkan satu pertanyaan pun yang
mengandung unsur keraguan. Mereka tidak
berusaha mencari ilmu yang Allah sendiri
tidak mengajarkannya kepada manusia.
Merekalah yang paling baik dan tinggi
martabatnya diantara umat ini. Bahkan
Rasulullah saw sendiri pernah memberikan
kesaksian tentang kebaikan mereka ini. Karena
itulah jalan yang mereka tempuh dalam
membahas aqidah serta penyampaiannya
lebih selamat, bijaksana dan lebih mendalam
daripada metode-metode lain.
Betapa tidak !? Sebab, ini merupakan
metode Rasul yang berdasarkan metode Al-
Quran dalam membahas aqidah. Dengan
metode ini orang-orang akan mendapatkan
kepuasan jiwa, petunjuk yang benar, ilmu
yang disertai keyakinan. Berkat metode
tersebut, seorang muslim akan menjadi suatu
potensi tenaga yang dasyat yang kemudian
mendorongnya untuk menyampaikan dakwah
dengan semangat. Jalan yang ditempuh dalam
hal ini adalah jalan Rasul dan para sahabatnya.
Abad pertama hijriyah telah berakhir
setelah dakwah Islam tersebar luas dan
menguasai segenap penjuru. Islam pada
waktu itu disampaikan dengan pemahaman
yang cemerlang, iman yang dalam dan
kesadaran yang hebat. Akibat dari
perkembangan dakwah Islam tersebut, Islam
berinteraksi dengan peradaban dan agama
yang dimiliki bangsa-bangsa lain yang masuk
Islam. Dikarenakan al-Quran telah
mencantumkan rincian tentang aqidah Islam
dan telah membeberkan aqidah-aqidah yang
berlawanan dengannya, begitu pula bantahanbantahan
yang melemahkan aqidah lain. Maka
sebagai akibat interaksi ini, timbullah
pergolakan pemikiran antara Islam dengan
kekufuran. Hal ini merupakan salah satu
sebab yang mendorong pemikiran kaum
muslimin membahas aqidah Islam dari
berbagai segi. Termasuk dalam menentukan
cara membela aqidah Islam di hadapan
aqidah-aqidah lainnya, terutama filsafat
Yunani yang telah dipakai orang-orang
nasrani dalam menghadapi dan menghalangi
dakwah Islam. Usaha tersebut menghasilkan
adanya aktivitas penterjemahan besar-besaran
sehingga filsafat Yunani ini beralih dan
diketahui oleh sebagian kum muslimin yang
menyibukkan diri dalam aktivitas
penerjemahan tersebut, yang kelak
menghasilkan apa yang disebut dengan ‘Ilmu
Kalam’ dan metode pembahasan ‘Ilmu
Mantiq’.
Metode Baru
Metode-metode ilmu kalam (mantiq)
yang telah dilahirkan oleh generasi yang
datang setelah sahabat (khalaf) adalah teramat
jauh berbeda dengan metode sebelumnya
yaitu metode sahabat (salaf). Karena metode
khalaf ini telah membicarakan Dzat Allah dan
berdasarkan pada metode pembahasan filosoffilosof
Yunani. Metode ini menjadikan akal
sebagai dasar pemikiran untuk membahas
segala hal tentang iman. Dalam menentukan
bukti, ia berlandaskan pada ilmu mantiq dan
telah mengambil sikap pertengkaran/
pertikaian untuk menghadapi para filosof
dalam setiap pembahasan. Mereka juga
membahas tentang apa yang tidak dapat
diindera atau dijangkau tentang dzat Allah
dan sifat-sifat-Nya. Dalam hal ini, mereka
telah mengikuti ayat-ayat mutasyabihat yang
banyak menimbulkan penakwilan, lalu
bertambahlah sikap permusuhan tersebut
sehingga pada akhirnya terjadi penyimpangan
(fitnah) terhadap aqidah yang sebenarnya.
Semua kejadian itu telah terjadi antar
sesama kaum muslimin yang ikut sibuk
membahas masalah ini. Bahkan sampai
melibatkan sebagian dari ulama fiqih yang
telah berusaha menjauhkan diri dari
pembahasan ilmu kalam, malah telah memberi
peringatan kepada orang-orang untuk
menjauhinya, seperti yang terjadi pada Imam
Ahmad ibn Hambal ra. Dan begitulah sikap
ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in.
mereka lebih banyak menyibukkan diri

dengan mengamalkan Kitabullah daripada
sibuk berbantah-bantahan.
Islam kemudian menyebar luas ke
pelosok dunia. Terjadilah kemudian
penaklukan-penaklukan daerah baru. Setelah
itu sebagian kaum muslimin mulai
terpengaruh dengan sebagian ide-ide filsafat
antara lain filsafat Yunani. Akibatnya mereka
terpecah menjadi banyak kelompok, firqoh
dan aliran-aliran. Sehingga mereka lebih
banyak sibuk dalam berdebat daripada
mengamalkan Kitabullah. Hati mereka
diabaikan sedangkan akal mereka diagungagungkan
sampai begitu beraninya membahas
segala sesuatu (baik yang dapat dijangkau
ataupun yang tidak).
Mereka berpikir dan membahas Dzat
Allah dengan cara yang berlebihan begitu pula
terhadap sifat-sifat-Nya, yang mereka bahas
secara mendetail berdasarkan pertimbangan
akal dan didukung dengan pendapat serta
cara pemikiran para filosof sebelumnya.
Padahal Allah SWT adalah Maha Pencipta
yang tidak dapat dijangkau manusia. Jika
manusia masih merasa dirinya lemah untuk
mengetahui secara detail tentang dirinya
sendiri dan apa yang ada dalam dirinya
sampai sekecil-kecilnya, maka bagaimana
mungkin akal manusia mampu menjangkau
Dzat Allah Yang Maha Pencipta bagi alam
semesta dan seisinya. Juga, Dia lah yang
menguasai segala urusan yang menyangkut
Dzat Allah dengan segala sifat-sifat-Nya,
padahal tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan-Nya yang dapat dijadikan sebagai
tolok ukur/pembanding!
Satu-satunya jalan yang harus
ditempuh dalam hal ini adalah dengan
menjadikan firman Allah SWT tentang dzat
dan sifat-sifat-Nya serta hadist Rasul yang
shahih dan terbukti kebenarannya, merasuk
dalam kalbu kita, lalu mengimaninya tanpa
takwil dan tanpa mempersulit pembahasannya.
Sebab kita tahu bahwa jika kita
menakwilkan suatu ayat/hadist maka
penakwilan itu sesuai dengan firman
Allah/sabda Rasul atau tidak. Orang yang
menakwilkan sesuatu biasanya tidak sanggup
memastikannya, benar atau salah. Yang
membentuk keyakinan adalah makna/lafazh-lafazh
zhahir (berdasarkan konteks kalimat)
dari ayat/hadist, juga lafazh hakiki (makna
sebenarnya( bukan yang majazi (kiasan).
Metode yang Keliru
Setelah membahas dan mendalami
metode para ulama kalam dapat kita
simpulkan bahwa metode mereka adalah
keliru. Metode tersebut tidak dapat
membentuk iman bagi seseorang apalagi
menguatkannya. Metode ini hanya
menghasilkan sekedar pengetahuan tertentu,
bahkan dapat dikatakan pengetahuan yang
salah dan meragukan, karena merupakan
pengetahuan tentang sesuatu yang tidak
pernah diberitahukan kepada manusia. Juga
karena panca indera kita tidak sanggup
menjangkaunya.
Kekeliruan metode tersebut dapat
dilihat dari berbagai aspek: Pertama; metode
ulama kalam dalam menentukan bukti
didasarkan pada ilmu mantiq, bukan kepada
penginderaan. Hal ini menjadikan seorang
muslim sangat memerlukan belajar ilmu
mantiq agar ia dapat membuktikan eksistensi
Allah. Ini berarti bagi seorang yang belum
mengetahui ilmu mantiq maka ia tidak boleh
membahas aqidah Islam. Padahal islam datang
pada masa dimana kaum muslimin belum
mengetahui ilmu mantiq. Mereka telah
mengembangkan risalah Islam dengan cara
yang terbaik serta memberikan bukti-bukti
yang meyakinkan terhadap segala hal yang
menyangkut aqidah mereka, tanpa
memerlukan pembahasan ilmu mantiq dalam
menentukan bukti apapun terhadap aqidah
Islam. Ini dari satu segi. Sedangkan dari segi
lain metode ilmu mantiq (logika) dalam
menentukan suatu bukti memungkinkan
terjadinya kekeliruan dalam menarik
kesimpulan. Hal ini disebabkan oleh premispremis
yang salah yang tidak didasarkan atas
fakta-fakta. Berbeda halnya dengan metode
berpikir yang didasarkan atas fakta-fakta yang
nyata. Metode terakhir inilah yang telah
digunakan oleh al-Quran dalam menentukan
bukti-bukti sehingga tidak memungkinkan
terjadinya suatu kekeliruan dalam berpikir.
Adapun metode yang menimbulkan
kekeliruan dalam berpikir, jelas tidak boleh
dijadikan patokan dalam menentukan buktibukti.
Merujuk Kepada Akal Dalam Masalah
Ghaib
Kedua: metode yang digunakan para
mutakallimin adalah dengan menjadikan akal
sebagai patokan dalam membahas segala hal
yang berkaitan dengan masalah iman, bahkan
sampai-sampai menjadikan akal sebagai
standar untuk memahami hal-hal yang ghaib
pula. Mereka telah menafsirkan al-Quran
berdasarkan pertimbangan akal, tanpa
menyalahi dasar-dasar lainnya, seperti;
16 Serial Bina Aqidah 6
mensucikan Allah secara mutlak, kebebasan
dalam berkehendak, keadilan Allah dan
pemilihannya yang terbaik dalam setiap
keputusan/ketentuan dan sebagainya.
Mereka telah merujuk kepada akal
dalam menafsirkan ayat-ayat yang dari segi
lahirnya dianggap kontroversial. Akal juga
dijadikan sebagai standar pemutus terhadap
hal-hal yang mutasyabihat. Bahkan mereka
telah menakwilkan ayat-ayat yang tidak sesuai
dengan pendapat yang mereka pilih. Sikap
penakwilan ini selalu digunakan karena
mereka bertolak dari akal, bukannya dari
wahyu (al-Quran). Mereka beranggapan
bahwa ayat-ayat al-Quran harus ditakwilkan
dan disesuaikan dengan ketentun akal.
Begitulah sikap mereka yang telah menjadikan
akal sebagai patokan untuk menafsirkan Al-
Quran yang mengakibatkan terjadinya
kesalahan dalam banyak pembahasan. Jika
saja mereka menjadikan al-Quran sebagai
patokan untuk setiap pembahasan adan akal
mereka didasarkan pada Al-Quran, tentu tidak
akan sampai membahas apa yang sudah
mereka bahas.
Memang benar, iman terhadap Al-
Quran sebagai kalamullah (firman Allah) harus
didasarkan kepada akal, yakni akal lah yang
telah membuktikan kemukjizatannya. Tetapi
setelah Al-Quran diimani akan menjadi standar
untuk mengimani segala sesuatu yang
tercantum di dalam al-Quran, tanpa
dipertimbangankan lagi oleh akal. Oleh karena
itu jika terdapat berbagai ayat dalam Al-Quran
(mengenai aqidah), maka akal tidak boleh
dijadikan tolok ukur kebenaran dan kesalahan
makna ayat-ayat tersebut. Kita wajib merujuk
hanya pada ayat-ayat Al-Quran itu sendiri
tanpa ‘campur tangan’ akal. Dalam hal ini
fungsi akal hanya memahami nash-nash saja.
Sayangnya para mutakallimin tidak berbuat
demikian, melainkan menjadikan akal sebagai
tolok ukur dalam penafsiran Al-Quran. Oleh
karena itu, muncullah sikap penakwilan ayatayat
al-Quran.
Mengikuti Pendapat Para Filosof
Ketiga: Para mutakallimin telah
menjadikan sikap pertikaian dengan para
filosof sebagai dasar pembahasan mereka.
Misalnya, golongan mu’tazilah mengambil
pendapat dari para filosof dan membantah
mereka. Golongan ahlus sunnah dan jabariyah
membantah pendapat mu’tazilah juga dengan
mengambil pendapat para filosof dan
menentangnya. Padahal yang menjadi obyek
pembahasan adalah islam, bukan sikap
pertikaian para filosof maupun lainnya.
Seharusnya mereka membahas apa
yang terdapat pada al-Quran dan Hadist, dan
berhenti disitu tanpa melampaui batas
pembahasannya, juga tanpa memperdulikan
lagi pendapat siapapun. Akan tetapi mereka
tidak melakukannya. Mereka malah
mengalihkan aktivitas tabligh Islam dan
penjelasan tentang hal-hal yang menyangkut
aqidah Islam kepada perdebatan dan
berbantah-bantahan. Mereka telah memadamkan
kekuatan dan semangat aqidah yang
merupakan pendorong jiwa manusia,
mengaburkan makna aqidah sehingga
menjadikannya sebagai aktifitas perdebatan
belaka yang dilakukan secara terus menerus
atau sebagai keahlian tersendiri dalam ilmu
kalam.

Sikap mereka ini berlawanan dengan
metode al-Quran yang juga pernah
membantah sebagian pemikiran-pemikiran
filsafat, tetapi berdasarkan suatu metode yang
hanya berlandaskan kepada seruan yang
difokuskan kepada akal dan fitroh manusia.
Dengan demikian metode ini menjadikan
setiap orang yang mendengar seruan tersebut
mendapat kepastian dan meyakini apa yang
dibahas oleh akal terhadap hal-hal yang dapat
dijangkaunya yang menunjukkan adanya
Khaliq. Disamping ia mampu membuktikan
keesaan dan kekuasaan Allah. Hikmah/tujuan
dari ciptaan-ciptaan dan keagungan-Nya.
Bahkan, seseorang yang sampai kepadanya –
seruan Al-Quran—akan merasakan bahwa ia
harus mendengar seruan itu dan
mengikutinya sampai seorang atheis pun bisa
memahami dan cenderung kepadanya.
Metode al-Quran adalah sangat sesuai
untuk setiap orang, tanpa ada perbedaan
antara penguasa dan rakyat, baik intelek
maupun awam. Metode al-Quran sungguh
telah menjadikan manusia berpikir lebih serius
tentang keberadaannya di ala mini serta
kelanjutannya nanti. Contoh-contoh untuk
seruan tersebut antara lain firman Allah ‎SWT
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka
dengarkanlah olehmu perumpamaan itu.
Sesungguhnya segala yang kamu seru selain
Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor
lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk
menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas
sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat
merebutnya kembali dari lalat itu. Amat
lemahlah yang menyembah dan amat lemah
(pulalah) yang disembah. Mereka tidak
mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat
lagi Maha Perkasa.” (TQS. al-Hajj [22]: 73-
74)
Juga firman Allah dalam QS. ath-Thâriq [86]:
5-8, QS. adz-Dzriyat [51]: 20-21, QS. an-Nazi’ât
[79]: 27-33). Demikianlah metode al-Quran
dalam menjelaskan/menetapkan kekuasaan,
kehendak, ilmu dan keagungan Allah
berdasarkan apa yang sesuai dengan akal dan
fitrah manusia.
Metode tersebut membangkitkan
perasaan jiwa manusia sehingga terpengaruh
dengan hasil keputusan akal yang telah
membuktikan serta mengakuinya sesuai
dengan hakikat fitrahnya sehingga manusia
merasa puas dan terpenuhilah keinginannya
dengan cara yang menimbulkan ketentraman
dan ketenangan jiwa.
Keluar dari Realita yang Terindera
Para mutakallimin telah keluar dari
realita bahkan melampaui batas hingga hal-hal
yang tidak dapat dijangkau oleh indera
manusia. Mereka membahas hal-hal di sebalik
alam semesta (meta fisika). Misalnya
membahas tentang Dzat Allah dan sifat-sifat-
Nya yang merupakan suatu hal yang mustahil
dapat dijangkau oleh indera manusia.
Pembahasan ini telah dikaitkan dengan
pembahasan yang berhubungan dengan
realita yang dapat diindera. Secara berlebihan,

mereka telah menganalogkan hal yang ghaib,
yaitu Allah SWT dengan alam nyata, yaitu
manusia. Bahkan mereka menetapkan sifat
‘keadilan’ Allah SWT sama dengan keadilan
menurut pandangan manusia di bumi.
Mereka lupa bahwa manusia
(makhluk) itu dapat dijangkau indera,
sedangkan Dzat Allah tidak. Dengan demikian
tidak dapat dianalogikan antara satu dengan
lainnya. Mereka juga tidak menyadari bahwa
keadilan Allah itu tidak dapat disamakan
dengan keadilan mnusia di bumi, juga tidak
boleh menundukkan Allah kepada hukum dan
peraturan alam/manusia. Karena Dia-lah yang
menciptakan alam, yang sekaligus
mengaturnya sesuai dengan hukum-hukum
yang juga Ia ciptakan.
Apabila dilihat bahwa manusia dengan
segala keterbatasannya memandang dan

memahami keadilan dengan cara yang
terbatas pula, ia akan menentukan sikap
terhadap alam sekitarnya sesuai dengan
pemahamannya. Tetapi apabila pandangannya
meluas, pemahaman dan sikapnya tentang
keadilanpun berubah juga. Lalu bagaimana
mungkin manusia akan menganalogikan
Rabb, Pencipta alam semesta ini, yang ilmu-
Nya meliputi segala sesuatu, lalu mereka
memandang keadilan-Nya sesuai dengan
makna yang mereka kehendaki? Begitu pula
halnya dengan kriteria penentuan baik dan
yang terbaik bagi Allah SWT.
Ayat-Ayat Mutasyabihat
Kelima: ayat-ayat mutasyabihat yang
bersifat global dan tidak memberikan
pemahaman yang jelas bagi pembacanya telah
turun dengan penjelasan yang umum tanpa
memberi perincian. Ayat-ayat tersebut dapat
berupa penjelasan tentang segala sesuatu
secara garis besar atau berupa ketentuan
terhadap fakta/keadaan yang kelihatannya
tidak bisa dibahas, ditelaah dan dijadikan
patokan sehingga pembacanya tidak bisa
memalingkan diri darinya. Walaupun
membahasnya, namun ia tidak dapat
mengetahui hakikat tujuan makna-maknanya
kecuali hanya sebatas apa yang tersurat dalam
lafadz-lafadznya.
Oleh karena itu, wajarlah apabila
semuanya ditentukan sikap pasrah kepada
ayat-ayat tersebut, tanpa mencari sebab-sebab
(penakwilan) atau penjelasan yang lebih
detail. Sebagai contoh dalam hal ini, bahwa di
dalam Al-Quran terdapat sejumlah ayat yang
menerangkan adanya paksaan pada
perbuatan-perbuatan manusia. Sebaliknya,
banyak juga yang menunjukkan adanya
ikhtiyar (pilihan manusia sendiri).
Diantaranya firman Allah SWT: TQS. al-
Mukmin [40]: 31, juga dalam QS. al-Insân [76]:
30, QS. al-Baqarah [2]: 286, QS. al-An’âm [6]:
125. Di dalam al-Quran terdapat pula sejumlah
ayat yang menyebutkan bahwa Allah memiliki
wajah dan tangan, menjelaskan bahwa Dia ada
di langit. Diantaranya seperti firman-Nya:
''Apakah kamu merasa aman terhadap Allah
yang di langit bahwa Dia akan menjungkir
balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan
tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (TQS. al-
Mulk [67]: 16)
28 Serial Bina Aqidah 6
juga dalam QS. ar-Rahman [55]: 27, QS.
al-Fajr [89]: 22, QS. al-Maidah [5]: 64.
Disamping itu terdapat ayat-ayat lain yang
menetapkan sikap pensucian terhadap Allah
SWT, yakni tidak boleh menyerupakan Allah
SWT dengan makhluk-Nya, seperti firman-
Nya: TQS. asy-Syûrâ [42]: 11, TQS. al-An’âm
[6]: 100. Demikianlah ragam ayat al-Quran
yang tersebar di pelbagai segi yang nampak
adanya pertentangan (kontroversial). Ayatayat
inilah yang oleh al-Quran disebut sebagai
ayat-ayat mutasyabihat.
Mengikuti Ayat-Ayat Mutasyabihat
Pada waktu ayat-ayat tersebut turun,
Rasulullah saw menyampaikannya kepada
masyarakat, para sahabat, segera saja kaum
muslimin mengimaninya. Mereka menghafal
ayat-ayat tersebut di dalam lubuk hatinya dan
ayat-ayat tersebut tidak menimbulkan
pembahasan dan perdebatan apapun di
kalangan mereka. Mereka tidak melihat
adanya pertentangan apapun yang
memerlukan penjelasan yang detail. Mereka
memahami semua ayat sesuai dengan segi
yang diterangkan dan ditetapkan oleh ayatayat
tersebut. Ayat-ayat tersebut turun secara
berangsur-angsur sesuai dengan kenyataan
yang mereka alami. Mereka mengimani ayatayat
tersebut, membenarkan dan
memahaminya dengan pemahaman yang
global dan mereka merasa cukup dengan
pemahaman seperti ini. Mereka menganggap
ayat-ayat tersebut sebagai penjelas bagi
kenyataan atau sebagai penetapan bagi suatu
hakikat. Banyak dari kalangan para ulama
intelek tidak masuk pada pembahasan
perincian ayat-ayat mutasyabihat ini dan tidak
pula memperdebatkannya. Bahkan,
dipandangnya bahwa hal tersebut bukan
merupakan suatu kemaslahatan bagi Islam.
Maka pemahaman makna yang bersifat global
bagi setiap orang yang memahaminya sesuai
dengan ukuran yang dapat dipahami, tidak
perlu ia terjerumus ke dalam perincian dan
bahasan yang mengada-ada. Demikianlah
kaum muslimin menemukan metode al-
Quran, menerima ayat-ayat-Nya dan
bertindak sesuai dengan metode tersebut.
Pada waktu datang golongan
mutakallimin, mereka meletakkan pemahamannya
terhadap ayat-ayat mutasyabihat
berdasarkan pada apa yang didapatkan
oleh akal mereka tentang makna ayat ‘laisa
kamitslihi syaiun’ (tidak ada sesuatu apapun
yang menyamai-Nya). Mereka menjadikan
pemahaman ini sebagai penentu dalam
memahami ayat-ayat mutasyabihat. Mereka
bangun di atas pemahaman ini dasar-dasar
(ushuluddin menurut mazhab mereka). Lalu
membahasnya secara terperinci berdasarkan
ushul pemahaman mereka tersebut.
Disamping itu mereka menakwilkan segala
sesuatu yang bertentangan dengan
pendapatnya. Juga, mengkafirkan semua
orang yang menyalahi pendapatnya. Banyak
dan panjangnya pembicaraan dalam masalah
ini menyebabkan timbulnya fitnah yang besar
di kalangan kaum muslimin. Andai kata
mereka mengembalikan masalah tersebut
kepada Allah dan Rasul, niscaya mereka akan
mendapatkan kebaikan yang melimpah ruah.
Firman Allah SWT mengumpamakan mereka
seperti dalam TQS. Ali Imran [3]: 7.
Perlu kita merenungkan sabda
Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh
muslim dari ‘Aisyah ra:
“Andaikata kalian melihat orang-orang yang
mengikuti apa-apa yang mutasyabihat maka
mereka itu adalah orang-orang yang disebut
Allah swt (dalam QS. Ali Imran diatas) maka
berhati-hatilah terhadap mereka.” (HR.
Muslim)
Hambatan Bahasa
Ada yang mengatakan bahwa sebab
keterlibatan dalam ilmu kalam adalah
kelemahan yang menimpa otak kaum
muslimin dalam memahami bahasa arab. Oleh
karena itu, kata mereka, kita akan beralih dari
cara para sahabat membahas aqidah pada
cara-cara logika. Bukanlah satu kesalahan
apabila kita tetap memertahankan sikap
pensucian terhadap Allah tanpa mengingkari
dan menyerupakan. Alasan mereka ini
sebenarnya merupakan hujjah yang lemah.
Sebab, gaya pembahasan yang dilakukan oleh
para ulama kalam tidak menunjukkan bahwa
bahasa merupakan salah satu hambatan dalam
pemahaman aqidah secara benar, tetapi obyek
bahasan yang ada pada merekalah yang
menjadikannya berselisih pendapat. Sebagai
contoh, apabila kita mengatakan:
‘Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.’ Makna ayat ini dapat dipahami
artinya dari segi bahasa, tanpa perlu
menggunakan cara-cara mantiq/logika. Akan
tetapi berubahnya obyek pembahasan yang
dibahas dari segi Dzat Allah itulah yang
mendorong munculnya metode tersebut.

Apabila yang mendorong menggunakan
cara-cara logika adalah benar bahasa
arab maka adalam hal ini cukuplah kita
menerangkan arti bahasa untuk kata-kata
yang membutuhkan penafsiran/penjelasan
dan terhadap makna-makna yang belum jelas
dalam benak kita maka kita terima secara
pasrah tanpa membahasnya atau memperdebatkannya
lagi.
Tetapi nampaknya bahwa arti lughawi
(bahasa) bukan merupakan sebab penakwilan
dan pembahasan tentang Dzat Allah atau
terlibatnya akal dalam kesesatan yang sulit
baginya untuk melepaskan diri darinya
kecuali dalam keadaan kalah dan tidak
mendapatkan apa-apa. Tetapi, penyebab yang
sesungguhnya (penakwilan dan pembicaraan
mengenai dzat Allah) adalah mengikuti hawa
nafsu dan tidak meneladani metode para
ulama salaf.
Metode yang Memecah Belah Persatuan
Di antara hal-hal yang perlu diingat
adalah bahwa pembahasan ulama kalam ini
telah menyebabkan munculnya banyak firqah-firqah
yang keluar dari Islam. Mereka
termasuk dalam golongan-golongan yang
disebutkan oleh rasulullah saw dalam
sabdanya:
“Kaum Yahudi telah terpecah belah menjadi
tujuh puluh satu golongan, semuanya masuk
neraka. Sedangkan Kaum muslim terpecah
belah menjadi tujuh puluh tiga golongan yang
semuanya juga masuk neraka kecuali satu.
Para sahabat bertanya: siapakah dia, ya
Rasulullah? Beliau menjawab: golongan yang

mengikuti aku dan para sahabatku.” (Sunan
Tirmidzi: 22642-2643; Sunan Abu Daud
4596-4597; Musnad Imam Ahmad no.
1024)
Rasulullah saw telah memberi petunjuk
kita agar meneladani pola hidup beliau, serta
melarang kita, umatnya menyalahi jalan
tersebut. Perhatikanlah sabda Beliau dalam
sebuah hadist shahih:
“Sesungguhnya siapa saja diantara kalian
yang hidup (sesudahku), kelak dia akan
melihat banyak perselisihan. Maka berpegang
teguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah
khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk.
Lalu gigitlah (peganglah) dengan gerahammu.
Dan jahuilah perkara-perkara yang baru
(maksudnya dalam masalah ibadah).
Sesungguhnya semua perkara yang baru
adalah bid’ah dn semua bid’ah
(mengakibatkan seorang masuk) dalam
neraka.” (Sunan Abi Daud, 4607; Sunan
Tirmidzi 2678; Musnad Imam Ahmad IV
hal. 126-127).
Demikian pula diantara hal yang perlu
dipegang teguh bahwa pembahasanpembahasan
ini dan yang serupa dengannya
akan menyebabkan berhadapannya seorang
muslim melawan saudaranya yang muslim,
bahkan akan mengalihkan perhatiannya hanya
untuk menghadapi ‘urusan dalam’ kaum
muslimin. Sehingga orang-orang kafir dapat
mengambil kesempatan untuk melontarkan
banyak perkara-perkara syubhat yang
menyibukkan kaum muslimin dalam
menyelesaikannya, bahkan dapat menyebabkan
terhentinya kegiatan dakwah dan jihad fi
sabilillah. Oleh karena itu kita lihat ketika
ilmu-ilmu logika mulai berkurang, bahkan
lenyap dari masyarakat sangat diperhatikan
dan menjadi pembahasan serius kaum
orientalis. Begitu juga para teolog nasrani
banyak mengarang buku-buku di bidang ini.
Pembahasan ilmu kalam masih
mempengaruhi sekelompok kecil umat, yang
alangkah baiknya mereka tinggalkan hanya
karena Allah semata, yang mereka cintai. Jika
tidak, maka mereka –baik sengaja ataupun
tidak- berarti telah mengikuti orang yang
tidak mengharapkan kebaikan bagi agama
Islam ini.
Dalam kenyataannya, permasalahan
ilmu kalam telah dimunculkan oleh beberapa
orang nasrani yang kemudian memeluk Islam
tetapi tidak ikhlas pada-Nya. Diantara hal
yang menunjukkan hal ini adalah bahwa
Ghailan ad-Damasyqi pada mulanya sebelum
menganut Islam adalah orang Qibti (Nasrani
dari Mesir). Dan dialah orang yang paling
gencar menyerukan masalah qodar. Misalnya
apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Qutaibah
di dalam kitabnya Kitabu al-Ma’arif, hal 166:
“Ghailan ad-Damasyqi adalah orang Qibti yang
tidak ada searang pun sebelumnya
membicarakannya dan menyeru kepada masalah
qodar kecuali Ma’bad al-Jahni. Dan Ghailan
memiliki julukan Abu Marwan. Lalu ditangkap
oleh Hisyam ibnu Malik (wafat pada tahun 125 H),
kemudian disalib di pintu gerbang kota
Damaskus.”
Sebagaimana halnya dahulu,
sekelompok nasrani yang masuk Islam telah
membahas tentang berbagai syubhat yang
mengangkut aqidah, khususnya masalah
taqdir, kita akan menemukan pula bahwa
sekelompok Yahudi yang masuk Islam telah

menimbulkan berbagai syubhat; tentang
penyerupaan dan penitisan/penjelmaan Allah
SWT. Untuk itu dibuatlah cerita-cerita dan
riwayat palsu. Asy-Syahru Satani berkata:
“Kebanyakan berita-berita/cerita yang dibuat
berkenaan dengan masalah penyerupaan Dzat
Allah berasal dari Yahudi. Dan sesungguhnya
sikap demikian sudah merupakan tabi’at mereka.
Barangkali, Abdullah ibnu Saba’ yang dahulu
seorang Yahudi kemudian masuk Islam merupakan
orang yang pertama kali memunculkan perkaraperkara
syubhat; tentang penyerupaan Allah –
disamping sikap ekstrim dan dan berlebih-lebihan
terhadap Imam Ali bin Abi Muthalib—
sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Abdul
Qadir al-Baghdady di dalam kitabnya al-Farqu
Bainal Firoq, hal 214.''

No comments:

Post a Comment

Dilarang mengutip tanpa mencantumkan www.ilmudisaya.blogspot.com sebagai sumber artikel ini.
Mohon maaf bila ada kesalahan dalam penulisan atau isi dari artikel ini yang tidak berkenan.

Translate this page